Kamis, 09 Juli 2015

Kasus Pembiayaan Mobil Listrik



Kasus ini bermula beberapa waktu menjelang KTT APEC tahun 2013 di Bali. Saat itu rapat kabinet muncul ide menggunakan forum akbar itu untuk mempromosikan kemampuan Indonesia membuat mobil listrik. Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN lalu diserahitugas menyiapkannya.
Menurut Yusril (pengacara Dahlan Iskan), karena tidak dianggarkan pembiayaannya di APBN maka dicarikan jalan keluarnya yang melalui berbagai rapat diputuskan dengan menghimpun dana dari biaya promosi BUMN yang tertarik. Kemudian ada 3 yang tertarik yaitu: Pertamina, PT Gas Negara, dan Bank Rakyat Indonesia. Ketiganya menyatakan berminat, bukan ditunjuk.
Ketiga BUMN kemudian berurusan dengan PT Sarimas Ahmadi Pratama yang dipercayai untuk membuat 16 mobil listrik dengan biaya Rp 32 Miliar. Akan tetapi dari 16 mobil yang dipesan hanya 3 yang selesai. Hal inilah yang diduga menyebabkan kerugian negara dan dugaan kasus korupsi.
Selanjutnya Dahlan Iskan diperiksa sebagai saksi, kemudian Kejagung sudah menetapkan 2 tersangka, yakni Dasep Ahmadi dari PT Sarimas Ahmadi Pratama yang dituding tidak memenuhi kewajiban menyelesaikan pengadaan mobil listrik, dan Agus Suherman, dirut Perum Perikanan Indonesia yang juga mantan pejabat Bina Lingkungan Kementrian BUMN dituding menyalahi wewenang dengan meminta Pertamina, PGN, dan BRI mengucurkan dana untuk proyek itu senilai Rp 32 Miliar. (sumber: www.bbc.com)
Komentar saya menanggapi kasus pembiayaan mobil listrik di atas, masalah dalam kasus tersebut terletak pada sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan mobil listrik tersebut di mana dana diperoleh bukan dari APBN karena tidak dianggarkan lalu dihimpunlah dana dari biaya promosi BUMN yang tertarik. Pembiayaan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang lazim tetapi menurut saya Bapak Dahlan Iskan melakukan alternatif pembiayaan yang cerdas. Dilihat dari posisi beliau saat itu sebagai Menteri BUMN maka hal yang wajar jika beliau berusaha untuk mengoptimalkan BUMN yang ada. Namun penyertaan BUMN dalam pembiayaan tersebut buakanlah ditunjuk tetapi kesediaan/ketertarikan BUMN terkait dalam pembiayaan mobil listrik tersebut, seperti yang dikemukakan Bapak Yusril. Jadi meskipun BUMN adalah milik negara di mana uang BUMN dapat diasumsikan uang negara tetapi kerugian tersebut bukan berarti menyalahkan sepenuhnya Bapak Dahlan Iskan sebagai pengambil keputusan saat itu.
Selanjutnya menurut saya agar tidak terjadi masalah dalam kasus ini, sebaiknya dilakukan pengendalian biaya dalam mengalokasikannya dan pemantauan secara efektif pada proses pembuatan mobil listrik tersebut agar dapat terselesaikan pesanan sebanyak 16 mobil listrik. Kerja sama antara BUMN yang sebagai pemberi sumber dana dengan PT Sarimas Ahmadi Pratama sebagai pembuat mobil listrik, dibutuhkan pihak yang independen untuk melakukan kontrol pelaksanaannya. Kemudian dalam mengambil kebijakan pembiayaan tersebut sebaiknya melibatkan pihak-pihak pemerintah yang berwenang agar menghindari terjadinya tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Catatan:
Tulisan ini dibuat menurut opini saya, mohom maaf jika ada kesalahan. Saya terbuka untuk kritik dan saran yang bersifat membangun. Terima kasih.