Kasus
ini bermula beberapa waktu menjelang KTT APEC tahun 2013 di Bali. Saat itu
rapat kabinet muncul ide menggunakan forum akbar itu untuk mempromosikan
kemampuan Indonesia membuat mobil listrik. Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN
lalu diserahitugas menyiapkannya.
Menurut
Yusril (pengacara Dahlan Iskan), karena tidak dianggarkan pembiayaannya di APBN
maka dicarikan jalan keluarnya yang melalui berbagai rapat diputuskan dengan
menghimpun dana dari biaya promosi BUMN yang tertarik. Kemudian ada 3 yang
tertarik yaitu: Pertamina, PT Gas Negara, dan Bank Rakyat Indonesia. Ketiganya
menyatakan berminat, bukan ditunjuk.
Ketiga
BUMN kemudian berurusan dengan PT Sarimas Ahmadi Pratama yang dipercayai untuk
membuat 16 mobil listrik dengan biaya Rp 32 Miliar. Akan tetapi dari 16 mobil
yang dipesan hanya 3 yang selesai. Hal inilah yang diduga menyebabkan kerugian
negara dan dugaan kasus korupsi.
Selanjutnya
Dahlan Iskan diperiksa sebagai saksi, kemudian Kejagung sudah menetapkan 2
tersangka, yakni Dasep Ahmadi dari PT Sarimas Ahmadi Pratama yang dituding
tidak memenuhi kewajiban menyelesaikan pengadaan mobil listrik, dan Agus Suherman,
dirut Perum Perikanan Indonesia yang juga mantan pejabat Bina Lingkungan Kementrian
BUMN dituding menyalahi wewenang dengan meminta Pertamina, PGN, dan BRI
mengucurkan dana untuk proyek itu senilai Rp 32 Miliar. (sumber: www.bbc.com)
Komentar
saya menanggapi kasus pembiayaan mobil listrik di atas, masalah dalam kasus
tersebut terletak pada sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan mobil
listrik tersebut di mana dana diperoleh bukan dari APBN karena tidak
dianggarkan lalu dihimpunlah dana dari biaya promosi BUMN yang tertarik.
Pembiayaan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang lazim tetapi menurut saya
Bapak Dahlan Iskan melakukan alternatif pembiayaan yang cerdas. Dilihat dari
posisi beliau saat itu sebagai Menteri BUMN maka hal yang wajar jika beliau
berusaha untuk mengoptimalkan BUMN yang ada. Namun penyertaan BUMN dalam
pembiayaan tersebut buakanlah ditunjuk tetapi kesediaan/ketertarikan BUMN
terkait dalam pembiayaan mobil listrik tersebut, seperti yang dikemukakan Bapak
Yusril. Jadi meskipun BUMN adalah milik negara di mana uang BUMN dapat
diasumsikan uang negara tetapi kerugian tersebut bukan berarti menyalahkan
sepenuhnya Bapak Dahlan Iskan sebagai pengambil keputusan saat itu.
Selanjutnya
menurut saya agar tidak terjadi masalah dalam kasus ini, sebaiknya dilakukan
pengendalian biaya dalam mengalokasikannya dan pemantauan secara efektif pada
proses pembuatan mobil listrik tersebut agar dapat terselesaikan pesanan
sebanyak 16 mobil listrik. Kerja sama antara BUMN yang sebagai pemberi sumber
dana dengan PT Sarimas Ahmadi Pratama sebagai pembuat mobil listrik, dibutuhkan
pihak yang independen untuk melakukan kontrol pelaksanaannya. Kemudian dalam
mengambil kebijakan pembiayaan tersebut sebaiknya melibatkan pihak-pihak
pemerintah yang berwenang agar menghindari terjadinya tindakan yang tidak
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Catatan:
Tulisan ini dibuat menurut
opini saya, mohom maaf jika ada kesalahan. Saya terbuka untuk kritik dan saran
yang bersifat membangun. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar